Senin, 08 April 2013

Tugas 2

Kebijakan seperti apa yang akan anda lakukan untuk menghadapi globalisasi ?



  Globalisasi, sebuah kecenderungan yang sulit dihindari, dan datang tanpa kita sadari. Berkat perkembangan teknologi, arus informasi telah memasuki rumah tangga kita, kejiwaan dan alam pikiran anak-anak dengan percepatan luar biasa. Dalam sekejap, kita telah menjadi masyarakat yang satu, masyarakat tanpa batas (borderless).

  Semua itu akan mengurangi peran dan nilai yang dianut sebuah bangsa, agama maupun nilai-nilai sosial lainnya. Suatu saat, mungkin akan terbentuk suatu masyarakat global, dengan sistem politik, ekonomi, dan etika yang satu. Globalisasi, mungkin akan melahirkan suatu masyarakat dunia, dengan nilai-nilai universal yang dianut bersama. Ciri-ciri yang ada kini, yang membedakan sifat, ideologi ataupun pandangan hidup sebuah bangsa, mungkin hanya akan tinggal bentuk luarnya saja. Isinya, mungkin sama. Semuanya tinggal "label", bahkan telah ditinggalkan sebagian besar penganutnya.

  Betapa dominan nilai-nilai baru itu, dapat diambil contoh masalah hak asasi manusia (HAM). Indonesia, kini sedang menghadapi masalah HAM, dari kejadian di Timor Timur sampai Atambua. Kita ternyata tidak dapat menghindarkan diri dari campur tangan internasional. Tidak saja karena di sana terkait dengan korban warga negara
asing, tetapi karena dalam peristiwa Atambua dan Timor-Timur ada nilai-nilai universal yang diduga telah dilanggar. Bahkan dalam masalah Timor Timur, di mana sebagian besar diri kita terkait, kita sulit mengelak. Tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan kalangan militer, telah diberikan oleh kalangan kita sendiri, melalui Komnas HAM yang kita bentuk sendiri, sesuai standar dan nilai universal.

  Di bidang ekonomi, ketergantungan itu kian terasa. Letter of intent (LoI) antara Indonesia dan IMF menunjukkan, kita tidak lepas dari persetujuan IMF dalam mengatur ekonomi sendiri. Padahal, uang yang kita pinjam dari IMF itu merupakan hutang yang harus kita bayar kembali. Keterkaitan itu melampaui keterikatan kita dengan sebuah bank, ketika kita memperoleh kredit dari bank itu. Dunia internasional juga memantau jalannya demokrasi di Indonesia. Seandainya demokrasi kita tidak berjalan sesuai prinsip dasar demokrasi yang universal, niscaya akan mengurangi kredibilitas dan legitimasi pemerintah.

  Oleh karena itu, mungkin timbul pertanyaan, masih adakah ruang gerak kita, kemerdekaan kita, dalam mengatur negara bahkan kehidupan kita sendiri? Bila dalam mengatur ekonomi bangsa, sistem politik, kehidupan kemanusiaan (misalnya HAM), kita tidak lagi bebas, masih adakah kemerdekaan yang kita miliki? Kekhawatiran seperti inilah yang dapat melahirkan sebuah kesan, globalisasi adalah kolonialisme bentuk baru. Sebab, dalam interdependensi seperti itu, negara yang kuat, bangsa yang kuat, negara yang maju akan lebih menarik manfaat dari globalisasi itu. Bahkan, previlege itu telah diberikan secara sukarela oleh bangsa lain yang menerima globalisasi apa adanya. Secara etis, tidak ada alasan untuk mempersoalkan globalisasi sebagai kolonialisme baru.

  Betapa globalisasi ternyata lebih menguntungkan negara maju, dapat digambarkan ibarat sebuah pertandingan tinju. Kelas negara maju dan negara sedang berkembang memang berbeda. Petinju kelas terbang, sudah tentu tidak mungkin mengalahkan petinju kelas berat. Meski kita berdalih kompetisi, pasar bebas, HAM, bahkan demokrasi, interdependensi antara kelompok masyarakat yang hidup dalam platform yang sama seperti itu tentu akan dimenangkan kelompok kuat, kelompok yang lebih maju. Sangat wajar dan logis. Dampaknya pun amat luas.

  Mengutip pendapat Thomas I Friedman, seorang wartawan senior The New York Times, globalisasi mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi idea atau ideologi, yaitu kapitalisme. Dalam pengertian ini, termasuk seperangkat nilai yang menyertainya, yaitu falsafah invididualisme, demokrasi dan HAM. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu "pasar bebas" dengan seperangkat tata-nilai lain yang harus membuka kesepakatan terbukanya arus barang dan jasa dari satu negara ke negara lain. Ketiga, dimensi teknologi, khususnya teknologi informasi. Dengan teknologi informasi akan terbuka batas-batas negara, sehingga negara makin tanpa batas (borderless country).

  Dengan kenyataan seperti itu, globalisasi tidak hanya membuka batas negara, tetapi juga batas nilai ideologi, moral, warna kulit, agama, bahkan nilai kemanusiaan lainnya. Arus barang dan jasa akan berjalan lebih cepat. Inilah yang menjanjikan lahirnya kemakmuran bagi semua negara yang terlibat, meski ketimpangan akan tetap ada.

  Negara-negara industri, tanpa hambatan berarti akan lebih mudah menjual barang dan jasanya ke negara sedang berkembang. Karena itu, dalam waktu bersamaan, globalisasi juga akan melahirkan pengelompokan masyarakat dan negara ke dalam kelas baru, berdasar kemampuan ekonomi. Globalisasi juga akan melahirkan jurang kaya dan miskin kian lebar, baik antara negara yang satu dengan lainnya maupun internal individu/sesama warga negara di negara itu.

  Sekadar contoh, Thomas I Friedman menyampaikan kasus Amerika. Berkat teknologi satelit, bola basket Amerika kini menjadi amat populer di seluruh dunia. Penghasilan tiap tahun Michael Jordan, pebasket terkenal dari Chicago Bul itu amat besar. Hampir separuh masuk kantor pajak AS. Dari mana uang diperoleh? Antara lain dari royalty siaran televisi sampai penjualan kaus bergambar dirinya yang dijual dari Moskow sampai Jakarta. Secara tidak sadar, kita telah ikut membayar pajak ke Pemerintah AS, melalui Michael Jordan. Semua itu masih dapat ditambahkan di sektor usaha lain, dari restoran sampai jasa konsultan. Ironis, tetapi suatu hal yang sulit dihindari.

  Kenyataan inilah yang melahirkan ketimpangan ekonomi makin lebar, baik antarnegara maupun intern suatu negara. Sementara negara maju makin kaya, banyak negara berkembang terpaksa tertinggal bahkan menyumbang kepada negara maju. Dalam kasus Indonesia, tidak saja rakyat kita menyumbang secara langsung melalui pembelian kaus, berbagai produk makanan jadi (McDonalds, KFC, dan lainnya) atau jasa konsultan, tetapi juga cicilan hutang luar negeri yang jumlahnya makin meningkat. Di AS, selain Michael Jordan, juga ada Bill Gate, raja komputer yang menjadi orang terkaya di dunia. Sementara rakyat Amerika yang homeless, yang tidur di emper toko-toko juga masih menjadi pemandangan sehari-hari di AS.

  Dampak ketidakadilan inilah yang sering menimbulkan reaksi, tidak saja di negara sedang berkembang, tetapi juga di negara maju, ketika mereka berbicara atas nama hati nurani. Sidang tahunan IMF (misalnya), ternyata tidak luput dari protes dan demo karena lahirnya ketidakadilan itu. Bagi tiap bangsa, menghadapi kenyataan seperti itu, hanya mungkin berusaha bertahan dan syukur dapat menarik manfaat. Kita harus memiliki software yang kondusif dengan globalisasi. 

  Setiap bangsa dan negara harus meningkatkan kemampuan bersaingnya. Artinya, segenap fund and forces dan sumber-daya manusia yang kita miliki harus dimobilisir, agar ketahanan nasional kita meningkat dan kemudian kemampuan kita bersaing sebagai bangsa juga meningkat. Program ekonomi maupun program pendidikan dan sosial, baik yang dilaksanakan pemerintah maupun swasta, harus menganut strategi seperti itu. Sebuah strategi, untuk memberdayakan kemampuan bangsa. Strategi seperti ini, ternyata juga sedang dilakukan negara maju, dalam menghadapi kompetisi antarmereka sendiri.

  Antara lain, dengan membangun "aliansi strategis" sektor swasta dan kerja sama regional lebih ketat. Aliansi strategis sektor swasta, tentu akan meningkatkan kemampuan bersaing perusahaan-perusahaan itu. Misalnya antara Mercedez dan Chrysler, atau antara Ford dan Volvo menjadi amat bermakna dalam persaingan mereka (misalnya) menghadapi Toyota. Demikian juga lahirnya Negara Eropa Bersatu, pasti amat bermakna dalam membantu negara anggotanya menghadapi persaingan dengan (misalnya) Jepang atau Amerika Serikat. Kehadiran globalisasi, dengan pasar bebasnya, memang memerlukan langkah strategis, agar kita tidak tenggelam karena globalisasi.

  Karena itu, inilah sebenarnya makna strategis ASEAN. Tetapi, dengan adanya APEC arti strategisnya bisa berkurang. Makin luas kerjasama regional, dalam batas tertentu, akan mengaburkan peran negara anggotanya. Inilah sebabnya, mengapa PM Malaysia Mahathir Mohammad semula lebih cenderung menerima kerjasama antara kawasan Asia (saja), tidak melibatkan Amerika (kawasan Pasifik).

  Secara strategis, peningkatan kerja sama regional antara negara ASEAN ataupun Asia (saja) akan lebih bermanfaat bagi negara-negara anggotanya dalam meningkatkan kemampuannya bersaing dengan negara lain. Dengan regionalism yang diperluas seperti APEC, tidak mustahil Amerika lebih dapat menarik manfaat. Dan inilah sebuah bukti lagi, globalisasi akan selalu lebih menguntungkan negara maju dibanding negara sedang berkembang.

  Di tingkat nasional, upaya apa yang dapat dilakukan untuk memobilisir potensi bangsa? Sektor swasta, mestinya harus berpikir untuk memperkuat diri. Kapan swasta kita dapat membangun aliansi strategis antara kita sendiri dan dengan swasta asing? Begitu juga kepemilikan perusahaan swasta, mungkin akan lebih kuat bila didukung kepemilikan karyawan melalui koperasi, seperti dikembangkan di berbagai negara Skandinavia. Hal ini juga sesuai UUD 1945 Pasal 33.

  Di bidang kesejahteraan sosial, juga ada kesempatan besar, yang ternyata belum memperoleh perhatian sebagaimana mestinya. Program Jaminan Sosial Nasional yang amat bermakna dari segi ekonomi, selama ini tertinggal. Di tiap negara, Program Jaminan Sosial, baik program pensiun, kesehatan, jaminan hari tua, dan lainnya, ternyata memiliki dimensi ekonomi amat besar. Sebab, pada hakekatnya program ini untuk membangun tabungan nasional, lewat mobilisasi dana yang diperlukan guna mendukung program itu. Program inilah yang menolong Jerman dibawah Otto von Bismarck dan Amerika Serikat di bawah Roosevelt, ketika kedua negara itu mengalami krisis ekonomi.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar